Pada artikel sebelumnya, saya sempat membahas mengenai ciri-ciri seseorang yang terjebak dalam kondisi emotionally unavailable. Apakah kamu salah satu yang merasakan ciri-ciri tersebut pada dirimu? Apakah kamu merasa sulit untuk dekat dengan seseorang yang tertarik denganmu? Apakah kamu merasa sudah cukup mandiri sehingga tidak membutuhkan orang lain? Atau mungkinkah kamu selama ini menggunakan kesibukanmu untuk menghindari kedekatan dengan orang yang tertarik denganmu?
Beberapa minggu yang lalu, saya sempat kedatangan klien, seorang perempuan berumur 45 tahun. Untuk memudahkan, sebut saja namanya Rika. Ia bercerita kepada saya kondisinya yang sulit untuk bisa dekat dengan lawan jenis sehingga ia masih belum kunjung menikah. Saya mencoba menggali, mencari tahu apa akar masalahnya sampai pada akhirnya Rika bercerita mengenai ayahnya.
Rika memiliki seorang ayah yang diktator dan seringkali melakukan abuse kepada ibunya. Ia merasa bahwa dulu ia juga pernah menjadi korban kemarahan ayahnya. Melihat berbagai kejadian tersebut, Rika sangat ingin melindungi ibunya, tapi apa boleh buat, saat itu ia masih kecil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Sempat terucap dari mulutnya bahwa ia bisa saja jadi takut menikah karena ayahnya kasar seperti itu.
Meski Rika mengaku ia sudah memaafkan ayahnya, tetap saja ia membangun dinding yang tinggi kepada figur laki-laki. Ia merasa takut jika kedekatannya dengan laki-laki bisa membawa masalah. Padahal, orang di sekitar Rika merasa bahwa ia adalah seorang yang sangat baik dan murah hati. Kemurahan hatinya tersebut dimiliki karena keinginannya yang besar untuk membantu orang sebagaimana ia ingin membantu mamanya waktu dulu. Namun sayangnya, ia selalu memberikan batasan setiap kali seorang pria mencoba mendekatinya.
Dari ceritanya tersebut, saya merasa masih ada hal yang belum selesai. Rika masih belum bisa memaafkan ayahnya untuk segala kesalahan yang pernah dilakukan kepada ibunya dan dirinya. Ia selama ini mencoba untuk mematikan perasaannya, membuat dirinya sendiri tidak merasakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia terus membangun benteng untuk membuatnya semakin ‘kebal’ dan hal tersebut membuatnya masuk ke dalam keadaan emotionally unavailable.
Saya coba terus untuk menggali perasaannya; perasaan marah, sedih dan rasa kecewa terhadap ayahnya. Saya mengajaknya untuk kembali merasakan semua perasaan tersebut agar ia bisa mengakui keberadaan setiap perasaan tersebut. Selama ini ia memendam perasaan tersebut karena ia diajarkan untuk tidak melawan orangtuanya dan tidak diperbolehkan untuk marah kepada orangtuanya. Padahal semua perasaan tersebut sangatlah wajar untuk muncul dan juga sangatlah perlu untuk diekspresikan dengan cara yang baik.
Setelah Rika berhasil mengekspresikan semua perasaanya, perlahan-lahan pun ia bisa memaafkan ayahnya. Sekarang, ia sudah lebih bisa membuka diri dan perlahan-lahan memenuhi kebutuhannya; ia jadi lebih mengerti betul, apa yang ia inginkan dan apa yang tidak ia inginkan. Saya memang belum bertemu Rika lagi seusai sesi konseling terakhirnya, namun dari apa yang dia sampaikan ke saya, saya sangat senang begitu tahu bahwa ia bukan hanya pulih dari kondisi emotionally unavailable, tapi hubungan dengan dirinya sendiri pun juga membaik.
Keadaan yang dialami Rika mungkin sangat sering kamu dengar. Keluarga yang abusive, sosok orangtua yang tidak ideal, emosi negatif yang tidak terekspresikan dengan baik adalah masalah klasik; masalah yang sudah ada dari dulu dan bukan hanya terjadi pada orang-orang di sekitar kita, namun mungkin juga terjadi pada diri kita sendiri. Hal-hal yang kita anggap umum ini bukan hanya melukai diri kita, namun juga bisa membuat kita membangun benteng yang kokoh untuk melindungi diri agar tidak tersakiti, kecewa dan merasa sedih.
Padahal benteng tersebut hanya akan melindungi kita dari kemungkinan tersebut, namun tidak menyembuhkan semua luka dan kesedihan yang kita rasakan. Benteng tersebut menutup kemungkinan kita untuk dekat dan mempelajari hal baru dari orang lain. Bahkan, benteng tersebut bisa saja malah membuat kita sulit untuk mengembangkan diri karena ia dibangun dari rasa takut yang berlebihan.
Apakah kamu relate dengan apa yang dirasakan oleh Rika? Atau mungkin kamu sedang berada pada posisi yang mirip dengannya? Ingatlah, penting bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya kita inginkan dan apa yang tidak kita inginkan. Dan hal tersebut bisa kita ketahui dengan menggali lebih dalam berbagai kejadian yang terjadi dalam hidup kita. Dengan merasakan kembali dan mengakui bahwa kita memang merasa sakit, kecewa, dan sedih, kita sudah selangkah lebih maju untuk keluar dari kondisi emotionally unavailable.
Jika kamu saat ini kamu memilki benteng yang susah ditembus siapapun, dan merasa sulit untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya dirasakan, kamu bisa menghubungi dan meminta bantuan ahli atau konselor untuk membantumu keluar dari masalah tersebut.
Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk membaca artikel ini. Semoga artikel ini membawa manfaat dan bisa membantu teman-teman yang berada dalam kondisi emotionally unavailable. Silakan share artikel ini kepada keluarga dan teman yang membutuhkan.