Pernah gak sih kamu merasakan momen-momen ketika seseorang tidak sedang benar-benar mendengarkanmu? Mungkin kamu tidak bisa menyebutkan apa yang membuatmu merasa demikian, namun kamu tahu pasti kapan seseorang tidak mendengarkanmu dengan sungguh-sungguh. Hal tersebut sedikit banyak membuatmu merasa tidak nyaman, bukan?
Menurut psikolog klinis, Leon Seltzer, membiarkan seseorang menceritakan penderitaannya adalah salah satu pemberian terbaik yang bisa kita berikan. Ia menulis, “Baik itu kesedihan, kecemasan, kemarahan atau frustasi, menahan segala sesuatu yang butuh untuk dikeluarkan sudah termasuk sebuah gangguan kesehatan – fisik, mental dan juga emosional.” Mendengarkan dengan penuh perhatian (compassionate listening) membutuhkan kita untuk bertindak seperti terapis profesional, membiarkan seseorang untuk meluapkan rasa sakit yang terpendam sesuai dengan fasenya dan sesuai dengan caranya sendiri. Kita tidak memburu-burui prosesnya, namun membiarkannya terungkap secara alamiah, baik itu melalui kata-kata, air mata atau kemarahan. Dan ketika sedang mendengarkan dengan penuh perhatian (compassionate listening), kita harus siap untuk berhadapan dengan emosi meledak-ledak dan tidak menjadi takut karenanya.
#1 Sediakan Ruang untuk Mendengarkan
Seorang terapis profesional atau seorang psikolog biasanya sudah memilki jadwal konsultasi dengan setiap kliennya. Maka dari itu, sangat memungkinkan bagi mereka untuk mempersiapkan ruang konsultasinya; menyingkirkan semua hal yang bisa menimbulkan distraksi (hp, laptop, tumpukan dokumen pekerjaan), menyalakan aromaterapi, menyiapkan minum dan juga tisu di atas mejanya. Bukan hanya itu, mereka pun punya waktu untuk mempersiapkan batinnya untuk mendengarkan dengan penuh perhatian (compassionate listening); bisa berbentuk afirmasi dan juga hening sejenak sehingga bisa lebih fokus saat mendengarkan.
Namun ada kalanya kita menerima curhat yang sifatnya dadakan (curcol – curhat colongan). Tetapi, kita masih bisa menyediakan ruang khusus untuk mendengarkan dengan penuh perhatian (compassionate listening) kok! Ketika kamu sedang tengah bekerja, kamu bisa mengatakan, “Sebentar deh, aku lagi nanggung kerjain ini, bisa kasih waktu 15 menit dulu. Setelahnya, kita ngobrol deh”, atau kalimat sejenisnya. Dengan begitu, kamu bisa mempersiapkan waktumu dan perhatianmu untuk mendengarkan keluh kesahnya.
#2 Perhatikan Bahasa Tubuhmu
Bahasa tubuhmu mengungkapkan banyak hal mengenai dirimu. Ketika kamu bosan atau terburu-buru, mungkin kamu akan menggoyang-goyangkan kaki, mengetuk-ketuk meja, memainkan pena, atau memperhatikan ujung rambut. Hal-hal seperti ini mungkin kita lakukan secara tidak sengaja. Namun, ini adalah pertanda bahwa kita tidak sedang benar-benar memperhatikan cerita yang disampaikan.
Ketika kita sudah dalam keadaan siap untuk mendengarkan ceritanya, cobalah untuk tidak melipat tangan, hadapkan tubuh kita kepada tubuhnya, jaga eye contact agar tetap ada dan nyaman. Bahkan jika memungkinkan coba untuk memberikan sentuhan-sentuhan kecil yang hangat sembari menghiburnya seperti memegang tangannya atau menepuk bahunya.
Sadari dan perhatikan setiap perubahan postur dan juga pergerakan pada tubuh kita. Dengan begitu, kita akan menjadi lebih waspada dan terjaga sehingga bisa tetap mendengarkan dengan penuh perhatian (compassionate listening) hingga ceritanya selesai.
#3 Membebaskan Prasangka dan Penghakiman
Setiap kali kita menyempatkan diri untuk mendengarkan cerita seseorang dengan penuh perhatian, akan menjadi lebih baik jika kita terbuka terhadap apa yang akan disampaikan. Misalnya, ketika seorang temanmu bercerita bahwa ia selingkuh. Jika kita tertutup dan jugdemental, kita pasti akan langsung bilang, “Ih kok kamu begitu sih?”
Namun, jika dipikirkan kembali, apa ada orang yang mau dihakimi? Apapun hal yang kurang pas yang pernah kita lakukan, tentu kita dan orang lain ingin diterima dan dicintai apa adanya. Dengan merasa diterima dan dicintai, maka seseorang akan merasa aman, didukung, dan empowered.
Ketika kita ingin mempraktekkan compassionate listening, sangat perlu untuk buka hati dan pikiran. Sebagai seorang profesional, saya selalu berpegang pada prinsip bahwa klien sudah datang dalam keadaan utuh dan penuh. Klien saya bukan orang-orang yang bermasalah. Mereka hanya lupa betapa luar biasanya diri mereka. Apa yang sebenarnya saya lakukan adalah mengingatkan mereka kembali siapa diri mereka sebenarnya.
#4 Kesampingkan Ego dan Rasa Ingin Tahu yang Berlebihan
Seringkali kita merasa tergelitik untuk merespon atau memberikan nasihat ketika mendengarkan cerita seseorang. Bahkan, mungkin ada di antara kita yang merasa sangat ingin tahu bagaimana detail setiap cerita yang diungkapkan. Namun akan menjadi lebih bijaksana jika kamu mengesampingkan ego dan rasa ingin tahumu. Biarkan ia menceritakan keluh kesahnya sesuai dengan batasan cerita yang ia berikan. Tidak perlu mendesaknya untuk memberitahukan semua hal saat itu juga. Sama seperti pada saat kita pertama kali menceritakan keluh kesah kepada seseorang, tidak mungkin kita bisa langsung menceritakan seluruh detail kisahnya, bukan?
Selain itu, banyak di antara kita yang berbagi cerita untuk didengarkan. Meski kita sudah menemukan solusi untuk permasalahan yang dihadapi, namun di saat yang bersamaan kita merasa butuh untuk meluapkan emosi; kekesalan, kesedihan, kekecewaan yang kita rasakan. Kita merasa perlu untuk melakukannya agar bisa move on, melakukan apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya.
Maka dari itu, untuk mendengarkan dengan penuh perhatian (compassionate listening), sangatlah penting bagi kita untuk mengesampingkan berbagai komentar, saran dan juga pertanyaan mendetail yang membuatnya menjadi kurang nyaman.
#5 Berikan Respon yang Netral atau Membangun
Mengesampingkan rasa ingin tahu yang berlebihan bukan berarti tidak boleh memberikan respon sama sekali. Ketika mendengarkan dengan penuh perhatian (compassionate listening) kita bisa memberikan respon yang bersifat netral seperti, “Hmm..”, “Ok..”, “Gapapa, lanjutkan aja” dan tanggapan sejenisnya sambil mengangguk kecil. Dengan begitu, kita memberikan signal kepadanya bahwa kita masih mendengarkan dan mengikuti ceritanya.
Selain itu, kita juga bisa memberikan tanggapan yang membangun dengan cara mengulangi pernyataan mengenai apa yang dia rasakan, “Iya, pasti sedih rasanya ya..”, “Wah.. Mengecewakan ya..” atau dengan memberikan pertanyaan seperti, “Apa yang kamu rasakan begitu ia melakukannya?” sehingga ia bisa menjadi lebih terbuka akan perasaannya. Selain itu, kamu bisa menggunakan kalimat yang membuatnya menjadi lebih nyaman seperti, “I’m here with you” atau “You are safe with me”.
Ingat, kuncinya adalah dengan tidak memaksa ataupun mendesaknya. Berikan tanggapan yang berdasarkan penerimaan dan cinta kasih sehingga ia bisa merasa nyaman dan tidak semakin tertekan ketika menceritakan keluh kesahnya kepadamu.
Biasanya, kita akan menjadi sulit untuk bicara dan juga sulit untuk mendengarkan orang yang berada dekat dengan kita seperti orangtua dan juga pasangan. Berbagai klien yang menghubungi saya pun sama. Mereka adalah orang-orang yang butuh untuk didengarkan dengan penuh perhatian; mereka ingin agar bisa lepas meluapkan emosinya dan bisa segera move on. Bayangkan, jika kita bisa saling berkomunikasi dengan terbuka, tanpa penghakiman, prasangka dan juga bisa mempraktekkan compassionate listening, pasti hidup ini akan menjadi indah.
Jika kamu merasa penting untuk menjadi seseorang yang mampu mendengarkan dengan penuh perhatian, silakan bagikan artikel ini kepada teman maupun saudaramu. Terima kasih.