Banyak filsuf yang mencoba memecahkan siapakah aku, diri kita ini? Apakah aku adalah Amel? Amel yang mana? Apakah Amel yang teman-teman kenal? Apakah Amel yang orangtuanya kenal? Amel yang dikenal oleh pasangannya? Ataukah Amel yang dikenal oleh Amel sendiri?
Namun.. “Aku” kan ada banyak! Kamu juga menyebut dirimu sendiri “aku”. Pejalan kaki yang ada di sekitarmu juga menyebut dirinya sendiri “aku”. Apa bedanya “aku” sebagai Amel dan “aku” sebagai kamu?
Ada filsuf bernama Rene Descrates. Ia menyatakan, “I think therefore I am” yang berarti, “Aku berpikir maka aku ada”. Namun apakah benar begitu? Di kesempatan lain, saya juga sering mendengar frase sejenis seperti, “Kamu adalah apa yang kamu konsumsi”, “Kamu adalah apa yang kamu lakukan”, dan berbagai “kamu adalah..” lainnya.
Jadi siapa sebenarnya aku? Apa itu aku?
Apakah orang yang tidak bisa berpikir dengan normal tidak bisa menyebut dirinya sebagai “aku”? Apakah orang yang makan daging sapi maka menjadi seekor sapi? Apakah orang yang melakukan pencurian akan menjadi seorang pencuri? Bagaimana dengan identitas yang kompleks? Aku, Amel, seorang perempuan yang bekerja sebagai past life regressionist, dan juga intuitive counselor. Bagaimana menjelaskan tentang “aku”?
Aku bukanlah namaku, Aku bukanlah identitasku, Aku bukanlah tubuhku, Aku bukanlah pekerjaanku. Aku bukanlah pikiranku.
Kita selama ini sering terjebak dengan pemikiran kita sendiri. Namun, bukan berarti saya mengajak teman-teman untuk tidak berpikir ya.. Saya ingin mengajak teman-teman untuk berpikir dengan cara yang berbeda.
Siddharta Gautama telah mengajarkan kepada kita bahwa pencerahan adalah momen di mana kita terbebas dari ke-aku-an. Namun apa yang terjadi setelah kita mencapai pencerahan? Tidak ada penjelasannya.
Menurut Eckhart Tolle melalui bukunya The Power of Now, “ketidak-jelasan” mengenai apa yang terjadi setelah kita mencapai pencerahan itu adalah wajar. Karena itu adalah sesuatu yang tidak bisa dinalar menggunakan logika dan pemikiran kita. Untuk mencapainnya, maka kita harus bisa hidup pada saat ini dan melepaskan pikiran kita.
Bagaimana caranya?
1. Mendengar suara-suara yang muncul di pikiranmu
Kita semua memiliki suara-suara tersebut di dalam diri kita. Suara-suara tersebut muncul karena ada kejadian di masa lalu yang membentuk image tentang diri kita. Agar kita bisa hidup pada saat ini, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mendengarkan suara-suara yang muncul di dalam kepala kita.
Konsepnya sama dengan menjadi pendengar yang baik; Kita hanya perlu duduk mendengarkan dan mengamati. Tidak perlu menghakimi, tidak perlu berkomentar apalagi memberikan penilaian. Bayangkan kita seperti sedang duduk mengamati suara-suara yang ada di dalam diri kita. Dengan begitu kita akan lebih mudah untuk fokus pada saat ini.
2. Menyadari/mengamati si pemikirnya
Cara kedua yang bisa dilakukan untuk berada pada saat ini adalah dengan menyadari dan mengamati diri kita sebagai pemilik pikiran. Seperti apa pikiran yang muncul dalam diri kita. Perhatikan pola yang berulang. Dari sana kita bisa mengetahui bagaimana pikiran kita selama ini membuat label, definisi, penghakiman terhadap diri kita. Dan dari sana juga kita bisa paham bahwa semua itu hanya di dalam pikiran kita. Bukan diri kita yang sebenarnya.
Secara keseluruhan, bisa dibilang ini adalah bentuk dari praktek meditasi. Dengan praktek meditasi ini, kita perlahan-lahan akan dapat membuat jarak dengan diri kita dan semakin lama semakin dekat dengan siapa diri kita yang sejati.
Apakah kamu sudah pernah mendengar cara ini? Jika ya, apakah kamu pernah melakukannya atau bahkan rutin mempraktekkannya? Yuk bagikan pengalamanmu di kolom komentar!