PilPres dan Ujaran Kebencian: Masih Jaman?

\\\"\\\"

 

Berasa gak sih kalau belakangan ini social media ramai banget dengan berita-berita seputar capres dan cawapres kita? Belum lagi ketika di kantor atau saat ketemu temen.. Semua orang ngomongin no 1 atau no 2. Dan kebanyakan dari mereka gak ngomongin visi misi kedua pasangan tersebut, tapi malah ngomongin apa saja kekurangan mereka dan apa saja dosa mereka.

Kalau kritik yang ada buktinya, tentu itu menjadi hal yang sehat dan membangun. Namun nyatanya, banyak di antara kita yang terpancing hoaks dan gak segan-segan ikut menyebarkannya agar pasangan yang dijagokan bisa terlihat lebih hebat.

“Terus apa salahnya, Mel?”

Selain karena motivasi yang kurang baik, kita juga jadi menuduh orang sembarangan. Kita jadi menghalalkan segala cara untuk menonjolkan jagoan kita. Kabar yang lebih buruknya lagi adalah fanatisme tersebut mengganggu hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita. Terutama orang-orang yang bersebrangan pendapat dengan kita.

Coba cek sendiri, ada berapa banyak sih orang di sekitar kita yang hubungannya renggang karena fanatisme tersebut?

\\\"\\\"

“Kalau negara ini kenapa-kenapa, pemilihnya lah yang bertanggung jawab!”

Kata-kata itu pernah terbaca beberapa kali pada kolom komentar socmed dan juga WA group. Saya pun bingung. Coba kita kembali tanyakan kepada diri kita sendiri. Bukannya ini akan menjadi blame game belaka? Blame game adalah permainan di mana kita tidak pernah kalah karena kita selalu menempatkan kesalahan pada orang lain. Blame game bukan permainan yang adil di mana kita harus mengerti berbagai hal yang terjadi.

“You do not blame your shadow for the shape of your body. Just the same: Do not blame others for the shape of your experience.” – Gilian Duce

Perlu diakui bahwa sulit bagi kita unuk menerima hal buruk yang terjadi di luar kendali kita. Namun, ketika kita menyalahkan orang lain, apakah akan ada perbaikan? Pada akhirnya, tidak akan ada yang menang ketika memainkan blame game.

 

Blaming akan menciptakan bias. Kita akan menyalahkan orang lain karena mempertahankan posisi kita. Bias tersebut tentu saja benar-benar mempengaruhi persepsi kita atas apa yang terjadi. Singkatnya, blame game akan membutakan kamu. Dengan menyalahkan orang lain, kamu secara tidak langsung juga membiarkan dirimu memiliki tingkah laku buruk yang sama dengan yang lain.

Nah sekarang, bagaimana caranya untuk tidak terjebak dalam blame game?

1. Sadari Ketika Kamu Mulai Menyalahkan Orang Lain

Kesadaran selalu menjadi langkah pertama untuk memulai sesuatu. Orang yang biasanya melakukan blame game biasanya melontarkan pernyataan absolut seperti “Pasangan itu tidak pernah melindungi saya”, “Pasangan itu selalu merugikan saya dan teman-teman saya”, atau juga selalu fokus pada harapan sendiri, “”Pasangan tersebut harusnya memenuhi kebutuhan saya” dan sebagainya.

Ingatlah bahwa bahasamu membentuk pemikiranmu.

Dengan menyadari bagaimana kamu berkomunikasi akan membantu kamu untuk menyadari apakah kamu terjebak dalam blame game atau tidak.

2. Berikan Tanggung Jawab Juga ke Diri Sendiri

Banjir kembali muncul, macet tidak berkesudahan dan berbagai hal tidak menyenangkan lainnya bukanlah selalu disebabkan karena orang lain. Sekalipun benar hal tersebut terjadi karena kelalaian orang lain, tentunya sulit bagi kita untuk terus menuntut orang lain agar bisa berubah. Benar?

Maka dari itu, apa salahnya kita mencari cara yang bisa mengubah keadaan tersebut dari diri kita sendiri. Entah kita menjadi lebih pro aktif, atau menjadi lebih mendengarkan.

Meski terdengar klise, dan rasa-rasanya sulit untuk mengubah keadaan, setidaknya kita sudah melatih metal kita untuk tidak melulu menyalahkan orang lain atas hal buruk yang terjadi pada kita.

3. Ber-empatilah, Hindari Penghakiman

Apa yang orang lain lakukan merupakan proyeksi dari apa yang selama ini ia dapatkan dan ia hadapi. Jika memilih A, mungkin ia punya pengalaman buruk dengan si B. Jika ia memilih si B, mungkin pengalaman yang baik dengan B.

Apa yang mereka dan kamu rasakan adalah valid. Semuanya benar. Tidak ada yang salah.

Maka dari itu blame game bukanlah permainan yang bijak. Pada permainan tersebut kita tidak menemukan solusi. Yang ada malah melukai hati orang lain. Namun dengan berempati dan mendengarkan cerita orang lain, kita bisa semakin mengerti dan menghargai perbedaan yang ada.

4. Lakukan Sesuatu dengan Penuh Tanggung Jawab

Mau nyoblos, ataupun golput, tentu itu terserah teman-teman. Saya di sini bukan untuk menjadi hakim. Tapi ketahuilah bahwa apa yang terjadi di depan mata kita, bukan semata-mata kerja orang-orang yang terdaftar di kertas pemilihan saja. Kita semua punya andil atas itu.

Ketika kita kebanjiran, apa iya kita terus menyalahkan pemerintah sedangkan kita sendiri saja tidak pernah berusaha buang sampah pada tempatnya?

Melalui artikel ini saya ingin menyampaikan bahwa kita semua bukan hanya bertanggung jawab atas pilihan kita saat pemilu, tetpai juga apa yang kita lakukan sehari-hari. Hal tersebut akan menjadi kebiasan dan tidak menutup kemungkinan sifatnya akan menjadi kolektif dan tersebar ke kelompok-kelompok lain.

5. Jangan Biarkan Apapun Membutakan Kamu

Kebencian, dendam, ketidaktahuan.. Jangan biarkan itu semua membutakanmu. Tidak ada orang yang sempurna, begitupun diri kita. Coba kenali, coba dengarkan dan coba pelajari apa yang disampaikan orang lain. Niscaya, kita semua bisa menjadi lebih hangat dan solid terlpeas dari apapun pilihan kita hari ini.

\\\"\\\"

Nah sekararang, bisakah kita berhenti bermain blame game? Selamat merayakan demokrasi teman-teman! Apapun pilihanmu, nyoblos ataupun tidak, semoga kita semua tetap bisa menjaga silahturahmi dan pertemanan kita.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *