Saya rasa banyak dari kita yang sudah pernah merasakan penolakan; ada yang pernah ditolak cintanya, ada yang pernah ditolak kebaikannya, ada yang pernah ditolak bantuannya, bahkan ada juga yang ditolak keadaannya serta keberadaannya. Rasanya begitu sakit dan menyedihkan bukan?
Guy Winch, penulis buku Emotional First Aid: Practical Strategies for Treating Failure, Rejection, Guilt, and Other Everyday Psychological Injuries, menjelaskan dari mana asal usul rasa sakit akan penolakan. Jika ditelisik lebih jauh lagi, nenek moyang kita berkumpul dan berburu bersama untuk dapat hidup. Dan pengucilan bisa menyebabkan kematian karena kita tidak dapat bertahan hidup tanpa berkelompok. Maka dari itu, begitu seseorang merasakan adanya pengucilan, sedikit banyak ia akan mengubah perilakunya sehingga ia dapat diterima dengan baik dan tidak ditolak oleh kelompoknya.
Jadi itulah asal usul mengapa penolakan yang disampaikan secara terbuka akan terasa begitu sulit dan menyakitkan.
Namun, banyak di antara kita yang mungkin saat ini merasakan hal-hal lain sebagai akibat dari penolakan tersebut; entah itu penolakan yang kita dapatkan dari kecil, ataupun penolakan lain yang kita hadapi begitu kita sudah beranjak dewasa. Ada yang didiagnosa menderita depresi, ada yang menjadi tertutup dan mengurung diri dan berbagai bentuk penarikan diri lainnya.
Dari sudut pandang medis sendiri, penolakan memang menjadi pemicu aktifnya sistem saraf pada otak yang sama seperti saat kita merasakan sakit secara fisik. Berdasarkan studi yang dipublikasikan oleh National Academy of Science juga menunjukan bahwa penolakan sosial dan rasa sakit pada fisik mengaktifkan bagian otak secondary somatosensory cortex dan dorsal posterior insula secara cepat. Dan pada jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience juga menunjukan bahwa kedua bagian otak tersebut juga menjadi aktif ketika kita menyaksikan seseorang menerima penolakan.
Selanjutnya, salah satu jurnalis neuroscience, Maia Szalavitz juga menunjukan bahwa bullying pada anak-anak (di mana banyak mengandung elemen penolakan) memiliki hubungan dengan depresi, kejahatan dan ke-tidak-produktif-an.
Nah, coba deh diingat-ingat kembali dari kecil penolakan apa saja yang pernah dialami? Bagaimana rasanya dan bagaimana kamu menghadapinya selama ini? Apakah ada di antaranya yang meninggalkan trauma? Kalau iya, apa pengaruhnya terhadap kehidupanmu saat ini?
Coba tanyakan pertanyaan tersebut ke dirimu sendiri, karena hanya kamu yang tau jawabannya. Namun, jika kamu merasa kesulitan untuk menguaknya, kamu bisa berkonsultasi dengan konselor atau menggali unconscious mind kamu lebih dalam. Salah satu caranya bisa melalui simbol, dan simbol itu sendiri bisa ditemukan melalui kartu tarot. Saya pribadi selama lebih dari 5 tahun sudah membantu klien-klien dengan berbagai latar belakang untuk mengungkap hidden emotionnya sehingga bisa menghadapi berbagai rasa sakit dari penolakan yang diterimanya dengan lebih baik. Dan sebentar lagi, saya akan launching online class terbaru yang berjudul Coloring Your Tarot Cards. Bagi kamu yang tertarik dengan kelas ini, kamu bisa menghubungi saya di sini.
Melalui berbagai penjelasan di atas, tidaklah mengherankan jika kita peka terhadap penolakan. Kepekaan tersebut merupakan salah satu bentuk pertahanan diri kita; untuk mengidentifikasi, mencari tahu apa kurang lebih penyebab penolakan tersebut sehingga kita bisa terhindar dari pengucilan dan tidak dikeluarkan dari sebuah grup.
Namun sekarang pertanyaan yang ‘menggelitik’ adalah bagaimana kita harus menanggapi penolakan tersebut? Seberapa besar perhatian yang harus kita curahkan untuk menanggapi penolakan tersebut? Dan apakah penolakan selalu menjadi suatu hal yang buruk bagi kita?
Apakah kamu pernah mengalami penolakan? Apa penolakan yang paling berkesan? Bagaimana kamu dapat menghadapi penolakan tersebut? Yuk share pengalamanmu di kolom komentar!