Kebahagiaan adalah topik yang gak akan habis untuk dibahas. Rasanya ada aja hal-hal baru, syarat-syarat yang bertambah dari waktu ke waktu. Contoh sederhananya seperti ini; Pada awalnya, kita mungkin merasa butuh pasangan agar bisa berbahagia. Sesudah dapat pasangan, kita merasa butuh berumah tangga agar kebahagiaan menjadi lebih lengkap. Namun tidak berhenti sampai di sana, setelah menikah, kita jadi merasa butuh untuk punya anak agar bisa merasakan kebahagiaan yang sempurna.
Pertanyaannya, sebenarnya kapan kita bisa benar-benar merasakan kebahagiaan yang begitu lengkap dan sempurna? Apakah dengan terus memenuhi keinginan kita yang bertambah dan berkembang sedemikian rupa, kita benar-benar bisa merasakan kebahagiaan yang kita cari?
Kebahagiaan Berasal dari dalam Diri
Saya cukup yakin banyak orang yang mengetahui hal ini. Namun, seberapa banyak di antara kita yang benar-benar memahaminya? Saya rasa gak cukup banyak, dan tak heran ada banyak orang yang menolak statement ini karena begitu kita menyetujuinya, maka berarti diri kita sendiri lah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan diri kita.
Setiap kali kita berhadapan dengan suatu kondisi, kita sebenarnya selalu punya pilihan bagaimana kita akan menanggapinya. Ketika kita dihina, difitnah, ditipu, kita gak harus marah-marah dengan menyakiti orang itu. Kita bisa memilih untuk lebih bijak dalam menanggapinya; menerima keadaan tersebut sembari menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran untuk diri kita sendiri untuk lebih waspada. Bahkan bisa jadi kita malah bersyukur, karena dengan kejadian tersebut kita tidak perlu merasakan kerugian lebih besar lagi.
Jadi, kita tidak perlu menyiksa diri dengan membenci dan melukai orang tersebut, tak perlu juga menghukum diri sendiri karena kejadian tersebut. Terima saja keadaannya, dan jadikan itu sebagai pelajaran. Jauh lebih bahagia, bukan?
Merasa Biasa Saja adalah Kondisi yang Alamiah
Dr. Ed Diener pernah melakukan riset yang menunjukan bahwa kita memiliki garis batas kebahagiaan di mana pada garis tersebut, kita akan merasa biasa saja. Dan selama kita menjalani kehidupan, kita selalu berusaha untuk menembus garis batas tersebut agar kita merasa bahagia.
Jika dilihat pada gambar di atas, Dr. Ed Diener menyimpulkan bahwa apa pun yang terjadi pada hari-hari kita, kita akan kembali pada garis batas kebahagiaan tersebut, di mana kita merasa baik-baik saja; tidak bahagia sampai kegirangan, namun juga tidak sedih hingga merana.
Selain itu, kita juga bisa lihat ketika kita memenangkan lotre, hal ini memang bisa membuat kita bahagia. Namun kebahagiaan tersebut sangatlah singkat dan kita akan kembali ke garis batas tersebut. Sedangkan ketika kita mengalami hari-hari yang biasa saja, atau bisa dibilang buruk, hal tersebut bisa lebih menyebabkan bertumbuhnya kebahagiaan secara perlahan dan terjadi dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Untuk Merasa Bahagia, Kita Perlu Berlatih
Jika kita lihat pada grafik sebelumnya, hal ini membuat kita tersadar bahwa akan sangat sulit bagi kita untuk terus menerus mengejar kebahagiaan. Rasanya tidak akan cukup dan mustahil; Karena hidup pasti ada up and down-nya.
Maka dari itu, ada baiknya untuk berlatih merasakan kebahagiaan, merasa cukup dan merasa terpenuhi. Mungkin ini terdengar aneh, namun ketika kita bisa melakukannya, maka tercapai atau tidaknya keinginan kita tidak akan membuat lonjakan atau penurunan dalam tingkat kebahagiaan kita. Kita akan tetap bahagia, atau setidaknya merasa tenang, tidak gusar dan khawatir ketika menghadapi berbagai hal.
Coba awali latihan kebahagiaan ini dengan mulai bersyukur, melihat berbagai hal dari sudut pandang lain, melakukan berbagai hal untuk self-love, dan bermeditasi. Dengan begitu perlahan-lahan kita akan mengembangkan kemampuan kita untuk tetap berbahagia.
Banyak cara untuk merasakan kebahagiaan. Salah satu yang sering dilakukan adalah dengan mencoba mendapatkan sesuatu. Namun dengan adanya artikel ini, apakah kamu mau mencoba cara lain atau melihat kebahagiaan dari sudut pandang lain?
Selamat mencoba!