Artikel saya sebelumnya yang berjudul \\\”Kalau ada malaikat di bumi, ia pastilah seorang Ibu\\\” menuai beberapa respon berbeda. Walaupun sebagian besar menyetujui judul artikel ini, ada beberapa yang kemudian merespon sebaliknya. Tidak semua Ibu adalah malaikat. Orang yang harusnya jadi yang terdekat malah menekan dan mencelakai kita. Mengapa dan bagaimana kita harus menghadapinya?
Han, seorang anak muda berusia 20an tahun bercerita begini pada saya: \\\”Hampir semua orang kagum dan bangga terhadap sosok ibu, begitu pula saya. Namun jujur… saya paling takut dengan ibu saya, takut dengan kata-kata beliau yang sering menusuk hati saya, takut kata-kata beliau yang sering hanya melemahkan semangat saya. Karena itulah saya lebih baik menjauh supaya tidak menyakiti beliau (karena saya takut, tidak sengaja membantah dan melukai hati beliau).
Ini tentu bukan hal yang tidak biasa. Fenomena ini terjadi tidak hanya pada seorang ibu, tapi juga anggota keluarga yang lain, teman-teman, atasan atau bawahan, rekan kerja, atau bahkan orang yang baru kita kenal atau tidak kita kenal sekalipun. Pada dasarnya, seperti itulah kehidupan dan begitulah orang-orang di sekeliling kita. Kita cenderung mengkategorikan mereka menjadi dua bagian: malaikat dan setan. Orang-orang yang bersifat seperti malaikat dan orang-orang yang bersifat seperti setan.
Lewat tulisan ini, saya ingin kita berpikir ulang sejenak dan mencoba memahami. Bahwa sebenarnya tidak ada setan. Yang ada hanyalah malaikat, dan malaikat berjubah setan.
Mengapa saya katakan malaikat berjubah setan? Bagaimana cara kita mengenali dan menghadapi mereka?
1. Pahami bahwa pada dasarnya semua adalah malaikat.
Ini adalah landasan pikiran yang sangat penting. Bahwa semua orang terlahir murni dan dalam diri tiap orang terdapat sebuah hakikat sejati yang sifatnya murni. Para pembaca kitab tentu tahu ayat yang mengatakan bahwa manusia diciptakan sesuai citra Tuhan dan bahwa Allah menghembuskan Roh-Nya ke dalam diri manusia. Di dalam diri tiap kita terdapat Roh Ilahi, jadi bagaimana mungkin kita menuduh dan melabeli mereka (atau bahkan diri kita sendiri) dengan sebutan setan? Kalau setan itu ada, ia pastilah bukan kamu dan saya.
2. Tanpa bertemu setan, kita tidak belajar sifat-sifat malaikat.
Orang-orang yang kasar, mau menang sendiri, dan mengkhianati membuat kita belajar untuk rendah hati, sabar, hati-hati dalam bertindak dan berucap. Membuat kita tahu apa artinya sebuah maaf, seberapa kuat kita dapat bertahan, apa itu ketidakkekalan, seberapa pentingnya melepaskan, dan pada akhirnya apa itu artinya sebuah cinta yang membebaskan. Tanpa adanya malaikat berjubah setan, hidup kita aman tenteram — kita tidak bertumbuh dan tidak belajar. Ini tentu bertentangan dengan tujuan sebenarnya kita hadir ke dunia; semua orang dan semua pengalaman adalah sarana bagi kita untuk bertumbuh dan belajar.
3. Berterimakasih pada malaikat yang merelakan diri menjadi setan.
Inilah yang paling indah dan paling mengharukan. Harus ada malaikat yang merelakan diri untuk berperan sebagai setan supaya kita mendapatkan kondisi yang kondusif untuk belajar. Tanpa ada orang yang memfitnah dan menipu uang kita, bagaimana kita tahu apa artinya memaafkan dan melepaskan? Tanpa ada orang yang mengkhianati komitmen sebuah hubungan, bagaimana kita tahu arti ketidakkekalan dan cinta yang membebaskan? Daripada bersumpah tidak mau memaafkan orang-orang semacam ini, malahan kita harus banyak-banyak berterimakasih karena mereka sudah rela mengambil tempat sebagai orang yang salah supaya kita bisa menjadi benar, mengambil peran sebagai setan supaya kita dapat tumbuh subur dalam peran menyerupai Tuhan.
4. Malaikat berjubah setan sebagai guru besar kehidupan.
Ada orang yang menyebut Nabi Muhammad, Yesus, Buddha atau Siwa sebagai guru. Ada juga yang menganggap praktisi tingkat tinggi sebuah agama atau ajaran sebagai seorang guru. Tapi guru-guru seperti ini hanya mengajarkan kita teori-teori kebaikan, menyayangi dan melindungi kita. Ujian sebenarnya muncul saat kita bertemu dengan para malaikat berjubah setan. Merekalah yang pada akhirnya membuat kita bisa mempraktekkan apa yang sudah kita pelajari sebelumnya lewat guru-guru agama atau spiritual kita. Merekalah yang pada akhirnya memaksa kita untuk belajar, bertumbuh, dan naik kelas. Peran mereka tidak kalah penting dengan guru yang kita sembah dan agungkan. Karenanya, saya selalu menganggap para malaikat berjubah setan sebagai guru besar kehidupan.
5. Tidak ada malaikat, tidak ada setan.
Pada akhirnya, yang paling membebaskan adalah saat di mana kita merasa bahwa tidak ada malaikat, tidak ada setan; semuanya sama. Pikiran dan persepsi kitalah yang membeda-bedakan. Sebelum manusia lahir ke dunia, selain ditentukan oleh karma, kita memilih siapa yang akan menjadi orang-orang terdekat dan kita menentukan titik-titik penting perjalanan hidup kita. Kali ini saya yang berperan sebagai malaikat, kali lain saya mungkin yang berperan sebagai setan. Semua hanyalah ilusi di muka bumi, semua pada akhirnya adalah pengalaman. Tinggal bagaimana kita menjalankan peran untuk kembali ingat dan menjadi hakikat kita yang sejati: murni seperti Tuhan.
Apabila kita bisa menghayati lima pemahaman di atas dengan baik, saya yakin kita akan menjadi orang yang tidak mudah terluka, lapang dada, dan tentu, jauh.. jauh.. lebih bebas dan bahagia!
Bagaimana dengan kamu? Bagaimana cara kamu memahami kalimat \\\”malaikat berjubah setan\\\”? Dan apa cara favorit kamu ketika harus berhadapan dengan mereka? Ceritakan pengalaman kamu yang paling menarik (atau bahkan paling membuat sakit hati) dan bagaimana cara kamu akhirnya dapat mengatasinya. Saya yakin kita dapat memetik pelajaran dari perjalanan hidup satu sama lain.
Banyak orang di luar sana terjebak dengan status malaikat dan setan yang mereka cap kepada orang lain. Bagikan ini kepada seluruh temanmu dan barangkali ini dapat menjadi sebuah pemahaman baru yang mencerahkan bagi mereka. Harapan saya, ketika kamu membaca ini, cara pandangmu meluas, kamu bisa memaafkan siapapun yang perlu kamu maafkan (termasuk dirimu sendiri) dan kamu dapat lebih menikmati hari-harimu karena kini kamu sudah melepaskan bebanmu. Letakkan dan tinggalkan di sini. Kamu bebas!
Terima kasih banyak, lagi dan lagi, karena sudah membaca Witnessday hari ini. Saya akan berjumpa dan membaca ceritamu di halaman diskusi, dan… sampai jumpa!
Love and light,
PS: Apakah kamu tahu kamu bisa merekomendasikan Ibumu atau dirimu sendiri untuk diwawancara dan berbagi inspirasi mengenai cinta dan kebijaksanaan seorang Ibu dalam sebuah buku? Seluruh hasil penjualan dan donasi dari buku yang akan terbit di bulan Desember 2015 ini akan diserahkan pada badan amal/ yayasan sosial yang mendukung kesahjteraan Ibu dan wanita. Ayo, terlibat. Tunjukkan kepedulianmu, bagikan ceritamu! Hubungi saya di hello@ameliadevina.com.
Wahhh sangat menarik…
Setuju bngt d sama tema nya…seruu bngt
Saya punya pengalaman yang hampir sama dengan Han
Punya Mom yang serba perfect…apaaa aja di komplainnn
rasa sayang itu gak selalu harus ditunjukan dengan lembut…
Sekarang aku…jd bnyk belajar mandiri, lebih kuat, jadi mama yang baik,
jadi istri yang baik
karena sebagai mama khn pasti selalu mau yg terbaik buat anaknya
betulll gak???
Terima kasih Mama…
Banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan saya – saya belajar membalikan hal yang negatif manjadi positif – Trims Amelia atas inspirasinya
Hai Sari.. Wah, bagus banget kalau akhirnya bisa dapat “pesan” di balik mama yang selalu komplain. Betul, Mama niatnya memang yang terbaik buat anaknya. Perlu diingat juga, latar belakang pendidikan Mama beda, budaya dan zamannya juga beda. Otomatis, mungkin cara berpikir dan menerima mereka tidak bisa seperti kita yang tamat sekolah dan kerja kantoran. Makanya perlu dimaklumi. Pada akhirnya pengalaman hidup fungsinya adalah agar kita belajar. Sekarang bagus sekali kalau sudah bisa mengambil dan menjalankan pelajarannya 🙂 *jempol*
tulisan kamu sangat menenangkan hati ..Thanks a lot Amel.
Hai Nana, terima kasih ya sama-sama. Senang kalau ada manfaatnya buat kamu.