Jika berbicara tentang kekuatan, setiap orang pasti memiliknya, menggunakan dan juga menunjukannya; Ada yang kekuatannya terlihat begitu mengerjakan sesuatu yang biasa dikerjakan, ada pula yang hanya dengan diam pun sudah terasa kekuatannya. Namun ada juga yang kekuatannya sangat terlihat ketika seseorang melakukan perlawanan.
Namun kenapa kekuatan-kekuatan tersebut bisa terasa begitu berbeda pada setiap orangnya? Kenapa kita bisa merasa Si A dan Si B sama kuatnya namun terasa berbeda ‘feel-nya’?
Dalam bahasa inggris, kekuatan bisa disebut menjadi 2 hal berbeda, “force” dan “power”. Kita akan menggunakan istilah “force” dan “power” untuk memudahkan penjelasan saya mengenai aapa yang membuat kekuatan terasa berbeda.
“Force” adalah kekuatan yang muncul ketika kita fokus melakukan perlawanan terhadap sesuatu. Sedangkan “power” adalah kekuatan yang muncul ketika kita bergerak searah dengan sesuatu. Nah jika diibaratkan dengan mendayung perahu, mendayung dengan melawan arus air adalah “force”, dan ketika kita mendayung searah dengan arus air adalah “power”. Sehingga yang membedakan “force” dan “power” adalah sumber kekuatannya; apakah kita melakukan perlawanan atau memberikan dukungan.
Itulah yang membedakan Adolf Hitler dan Mahatma Gandhi. Mereka sama-sama kuat, sama-sama bisa menggerakan massa. Namun apa yang membuat 2 orang tersebut berbeda? Adolf Hitler menggunakan “force”, sedangkan Mahatma Gandhi menggunakan “power”.
“Force” sangatlah identik dengan perlawanan. Segala usaha yang dilakukan difokuskan untuk melawan, untuk menghancurkan sesuatu. Pada masanya, Adolf Hitler berusaha untuk membinasakan orang-orang Yahudi. Dengan kebenciannya yang membara, ia melakukan genosida. Kekuatannya menyebarkan ketakutan, kekhawatiran yang luar biasa pada masanya.
Sedangkan Mahatma Gandhi menunjukkan “power” dengan menyebarkan ajarannya mengenai apa yang dia percayai dalam hidupnya; kedamaian dan cinta kasih. Segala usaha yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi fokus pada bagaimana ia bisa menyebarkan kedamaian dan cinta kasih ke lebih banyak orang lagi. Tentu saja dengan kekuatannya, Mahatma Gandhi memberikan ‘feel’ yang berbeda. Ia tampak begitu hangat dan rendah hati. Tidak ada kekhawatiran dan ketakutan ketika mendengar namanya.
Namun, apakah ini menjadikan “power” lebih baik dari “force”?
Kuncinya adalah awareness; apakah kamu sadar apa yang kamu lakukan dan mengapa kamu melakukannya? Apakah kamu perlu untuk melawan sesuatu? Ataukah dengan dorongan sudah cukup kuat untuk memberikan perubahan?
Contoh pada paragraf sebelumnya adalah contoh yang ekstrim. Namun pada skala kecil, force tidak menyakiti dan malah baik untuk pengembangan diri. Misalnya, ketika kita sedang malas, maka kita butuh sedikit force untuk mengalahkan rasa malas tersebut. Kita perlu melawan rasa malas sehingga pekerjaan dan tanggung jawab kita bisa terpenuhi. Force akan memberikan kita dorongan, menciptakan sebuah momentum di mana kamu bisa melompat tinggi dan mengubah sesuatu.
Nah, sekarang coba tanyakan ke diri masing-masing, selama ini kita lebih sering menggunakan force atau power? Apakah kita sadar ketika menggunakannya? Apakah kita sudah menggunakannya pada skala yang tepat? Yuk share pengalamanmu di kolom komentar!