witnessday

Edisi Lebaran: Yuk Belajar jadi Keluarga Supportive

Beberapa hari yang lalu kita semua mendapatkan kabar duka yang cukup mengagetkan, kepergian Ibu Ani Yudhoyono, istri dari salah satu mantan presiden kita yang meninggal dunia karena menderita penyakit kanker darah. Selain kedukaan yang sedang banyak orang rasakan saat ini, saya melihat sisi lain yang begitu menarik perhatian; Yaitu bagaimana keluarganya menjadi support system yang begitu baik selama masa pengobatan Ibu Ani.

Kebersamaannya terasa begitu erat. Bukan hanya waktu, namun perhatiannya juga begitu dicurahkan untuk memberikan dukungan terbaik bagi Ibu Ani yang waktu itu tengah sakit. Sewaktu saya melihat berbagai liputan tentangnya, saya sungguh merasa terharu. Ternyata keluarga yang begitu supportive bukan hanya ada di bayangan kita belaka. Bahkan, kita diberikan contoh nyata di depan mata kita.

Dalam sebuah keluarga pasti ada saja masalah dan itu adalah hal yang wajar. Ibu kita, ayah kita dulunya juga seorang anak yang juga dididik oleh orangtua mereka. Mereka berasal dari keluarga berbeda, dibesarkan pada lingkungan yang berbeda, memiliki pengalaman dan juga kenangan yang berbeda. Tidak heran jika akan ada ketidak-selarasan ketika menjalankan sebuah rumah tangga. Terlebih lagi ketika kita muncul sebagai anak mereka, perbedaan tersebut menjadi semakin terlihat kontras.

Maka tidaklah mengherankan juga ketika saya bertemu klien yang akar masalahnya berada pada hubungannya dengan keluarganya; Mulai dari bagaimana peran orangtua yang kurang ideal, hingga berbagai jenis kekerasan dalam keluarga yang diterimanya di masa lalu.

Pada artikel-artikel sebelumnya, saya sempat membahas mengenai bagaimana kita bisa menyembuhkan luka masa lalu dengan re-parenting inner child kita. Namun, pada kesempatan ini bertepatan dengan hari pertama lebaran, saya akan membagikan beberapa hal yang baik untuk kita praktekan bersama agar keluarga bisa menjadi semakin supportive dan menjadi tempat yang baik untuk tumbuh kembang kita semua.

#1 Lakukan Apapun Berdasarkan Cinta

“Mama marah karena mama peduli dengan kamu!”. Ada berapa banyak di antara kita yang pernah mendengar atau jangan-jangan mengeluarkan kalimat ini? Saat mendengarnya, anak akan sulit menerima kalimat tersebut dengan baik. Yang ia tangkap adalah nada yang tinggi, gestur yang dominan, dan juga pemaksaan kehendak. Meski apa yang mendasari kalimat tersebut adalah rasa cinta dan peduli, namun tidak terbesit satu hal pun yang menunjukan hal tersebut.

Bukan hanya perhatiannya yang harus didasarkan oleh cinta. Namun bagaimana kita menyampaikannya, mengucapkannya, memperlakukannya juga harus penuh dengan cinta.

#2 Jaga Komunikasi dengan Seluruh Anggota Keluarga

Kesibukan dengan berbagai aktivitas dan pekerjaan memang membuat kita sulit untuk menjaga komunikasi dengan anggota keluarga. Biasanya komunikasi dilakukan hanya pada lunch atau dinner di rumah. Yang lebih parahnya lagi, momen saat lunch atau dinner pun dihabiskan di depan handphone; foto bersama, post di socmed, habis itu sibuk dengan gadget masing-masing deh. Padahal tujuan lunch dan dinner bareng bukan hanya untuk pamer kebersamaan di socmed.

Ketika waktunya makan bersama, letakkan gadgetmu, fokuskan perhatianmu pada momen tersebut. Selain itu, coba lakukan juga komunikasi secara personal, satu per satu dengan tiap anggota keluarga. Sempatkan untuk bertanya kepada anak-anak bagaimana kegiatan mereka hari itu, tanyakan juga kepada pasangan apakah mereka sempat makan siang dan lain-lain. Hal-hal sederhana seperti ini mampu menciptakan kedekatan dan juga keterbukaan antar anggota keluarga.

#3 Berpikiran Terbuka dan Fokus Pada Kebahagiaan Setiap Anggota

Bagi sebagian orang lebaran atau momen kumpul keluarga seringkali membuat risih karena dikelilingi pertanyaan seperti “kapan lulus?”, “kapan bawa pasangan?”, “kapan menikah?” dan lain sebagainya. Padahal setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk berbahagia.

Ada yang bahagia ketika pekerjaannya sukses, namun ada juga yang berbahagia jika body goalsnya terwujud. Daripada kita terus memaksakan kehendak kita untuk melihat kakak, adik, keponakan, ataupun anak kita untuk berkeluarga, lebih baik kita membuka diri kita dengan bertanya apa yang sebenarnya membuat mereka bahagia dan fokuskan pembicaraan ke arah tersebut.

Saya pernah dengar cerita mengenai seorang bapak yang mengajarkan anak-anaknya untuk berpuasa, padahal bapak itu sendiri memiliki keyakinan yang berbeda dengan anak-anaknya. Jika ia memaksakan kebahagiaannya kepada anaknya, bisa saja anaknya disuruh untuk memeluk keyakinan yang sama seperti bapaknya. Tetapi ia memilih untuk tidak melakukannya dan fokus untuk mengajarkan kebaikan yang sesuai dengan kepercayaan anaknya.

#4 Dengarkan dengan Penuh Simpati, Baru Berkomentar

Kita seringkali berkomentar tanpa mendengarkan terlebih dahulu. Ketika anak nilainya jelek, tanpa terlebih dahulu mendengarkan keluh kesahnya, kita malah langsung menuduhnya kurang rajin, kurang mendengarka, kurang ini dan itu. Komentar tersebut bukannya menjadi solutif, malah menjadi destruktif. Mengapa? Karena secara tidak langsung kita menghakiminya, menunjuk segala kekurangannya, dan pada akhirnya kita tidak memberikan dukungan untuk mencapai apa yang dingginkannya. Bahkan, mengetahui apa yang sebenarnya diinginkannya juga tidak.

Bayangkan jika hal ini terjadi terus menerus di dalam sebuah keluarga. Bukan hanya hubungan yang menjadi renggang; kita akan semakin terbiasa untuk menghakimi, dan sang anak juga akan tumbuh tanpa kepercayaan diri yang baik.

#5 Berikan Apresiasi dan Berikan Kesempatan untuk Berkembang

Kurangnya apresiasi juga seringkali menjadi akar masalah dari klien saya. Sudah dapat ranking 3 besar, namun tetap dianggap kurang. Sudah mendapatkan gaji sekian, namun tetap dipaksa mencari penghasilan tambahan. Sudah memasak setiap hari, namun masih saja dikomplain secara rasanya.

Tidak ada yang salah untuk memberikan motivasi agar anggota keluarga kita bisa melakukan lebih baik lagi. Namun, cara penyampaiannya tentu saja juga perlu diperhatikan. Berikan apresiasi terlebih dahulu atas pencapaian yang sudah didapatkan saat ini; ucapan terima kasih, kecupan hangat, hadiah kecil dan berbagai bentuk apresiasi lainnya. Setelahnya, berikan kesempatan untuk berkembang lebih lanjut; bisa dengan mmeberikan modal, memberikan nasihat ataupun komentar yang membangun.

Sebuah keluarga adalah awal pembelajaran bagi setiap anak. Fondasi perkembangan secara fisik, psikologis dan spiritualnya pun berasal dari keluarga. Namun, bukan hanya anak yang belajar dari keluarga, namun ayah dan ibunya pun juga melakukan pembelajaran dan pelatihan diri di dalamnya. Semoga di hari pertama lebaran ini, kita semua bisa terus mengembangkan iklim supportive dalam keluarga kita. Selamat Lebaran, mohon maaf lahir dan batin.

Share the love...Share on Facebook
Facebook
Share on Google+
Google+
Tweet about this on Twitter
Twitter