witnessday

Ada Apa Dengan Kata “Harus”?

 

Beberapa klien saya seringkali mengatakan kata “harus” di berbagai sesi. “Harusnya gue ga boleh salah”, “Aku tau harusnya aku bisa maafin”, “Jadi anak harusnya ga boleh marah sama orangtua, harusnya aku bisa lebih berbakti…”.

Atau: “Sembahyang itu harus dan wajib hukumnya, ga dijalankan ya artinya masuk neraka”, “Cantik itu harusnya putih, langsing, rambut panjang, wajah mulus porselen”, “Sukses itu artinya harus sudah punya rumah dan mobil sendiri, bisa jalan-jalan keluar negeri minimal setahun sekali”, dan berbagai keharusan-keharusan lainnya. Para klien ini seringkali menganggap kewajiban-kewajiban tersebut sebagai hukum yang pantang dilanggar. Namun, coba kita renungkan, apakah semua keharusan tersebut memang benar-benar harus dilakukan?

 

“To liberate yourself from your own self-judgement is to liberate others from it as well. To love yourself is an act of love for the world.” – Vironika Tugaleva

 

Selama ini, kita hidup berdampingan dengan standar dan penilaian yang diberikan oleh orang di luar diri kita, mulai dari: orangtua, guru, sekolah, teman, lingkungan rumah, masyarakat, agama, kantor, dll.. Oleh standar dan penilaian ini entah kita dianggap kurang baik, kurang ramah, kurang profesional, kurang rajin, dan berbagai kekurangan (atau bahkan kelebihan) lainnya. Dari penilaian-penilaian tersebut, kita dituntut atau malah jadi merasa harus untuk melakukan sesuatu untuk memperbaikinya; jadi lebih rajin, lebih kuat, lebih pemaaf, lebih cantik, dan seterusnya.

Lalu, apa yang terjadi jika kita mengabaikan “keharusan-keharusan” tersebut? Mungkin kita akan merasa bahwa kitalah yang terburuk, kita tidak bisa ditolong lagi, kita tidak akan bisa menjadi seseorang yang baik, dan berbagai penilaian buruk yang bersifat final lainnya.

Sadar ataupun tidak, penilaian-penilaian dan juga keharusan-keharusan tersebut memberikan beban yang sangat berat untuk diri kita. Padahal, jika kita memang merasa butuh untuk menjadi seseorang yang lebih baik, akan lebih baik juga jika kita mengubah sudut pandang ketika menilai diri sendiri — dari self-judgement dan self-criticism menjadi self-compassion.

Self-compassion mengajak kita menggunakan berbagai cara untuk mengerti diri sendiri ketika dihadapkan dengan kekurangan atau kegagalan yang dialami. Dr. Kristin Neff, profesor psikologi dari University of Texas menyatakan bahwa, “Salah satu hal yang membuat seseorang tidak melakukan self-compassion adalah karena mereka takut mereka nantinya tidak akan puas dengan dirinya sendiri dan kehilangan kemampuannya. Padahal kenyataannya adalah kebalikannya. Self-compassion dapat membawa seseorang mencapai sesuatu yang jauh lebih baik.”.

Namun bagaimana caranya agar bisa mempraktekkan self-compassion di kala penghakiman dan juga keharusan-keharusan datang terus menerus? Berikut 3 cara yang bisa kamu coba:

Cara #1: Berjanjilah untuk Memperlakukan Diri Sendiri lebih Lembut

Salah satu studi yang dilakukan peneliti pada tahun 2016 membuktikan bahwa self-compassion bisa membawa kita kepada perkembangan personal dan juga penerimaan secara menyeluruh dengan lebih baik dibandingkan jika kita melakukan self-criticism secara terus menerus.

Coba bayangkan, bagaimana jika kamu bisa mempraktekkan self-compassion dan mengurangi self-criticism yang selama ini kamu lakukan; seberapa besar pengaruhnya terhadap hidupmu? Mulai sekarang, cobalah berkomitmen untuk memperlakukan diri sendiri dengan lebih lembut dan cinta kasih. Dengan begitu diri sendiri juga tidak akan kapok ketika menghadapi kegagalan dan bisa segera bangkit untuk kembali memberikan yang terbaik.

Cara #2: Hadapi Self-criticism dengan Kebaikan

Mungkin ini akan terdengar sulit untuk dijalankan karena berbagai kritik dan keharusan muncul begitu saja tanpa diminta. Namun, kamu bisa mencoba untuk menyadari kedatangannya. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan meditasi dengan objek perasaan kita. Coba perhatikan perasaan kita setiap kali mengalami suatu kejadian; apa yang kita rasakan, mengapa perasaan tersebut muncul, apa yang ditakutkan, apa yang diharapkan dan bagaimana kejadian yang sesungguhnya.

Dengan cara tersebut kita bisa memahami perasaan kita secara menyeluruh tanpa mengabaikan faktor lain yang juga mempengaruhi keberhasilan dari apa yang kita kerjakan. Kita jadi semakin mengerti dan bisa lebih mengasihi dan bertindak lembut kepada diri kita, sebagaimana kita memahami kesulitan yang dihadapi orang lain.

Melalui pemahaman tersebut, kita bisa menyadari dan menghadapi self-criticism dengan penuh kebaikan dan cinta kasih. Ketika ada kalimat seperti, “Kamu memang payah!” muncul, kamu bisa menghadapinya dengan, “Namun, aku sudah berusaha yang terbaik. Di kesempatan berikutnya, kita coba lagi ya.”

Cara #3: Sadari Perbedaan Ketika Kita Melakukan Self-Criticism dan Ketika Berhasil Melepaskannya

Sekian lama kita hidup dan terbiasa dengan kehadiran self-criticism dan juga berbagai “keharusan-keharusan” yang muncul. Tak heran jika kita masih sering terjebak dalam berbagai tuntutan tersebut meski kita sudah menjalankan kedua cara di atas. Namun, agar bisa menjadi semakin mantap dalam menghadapi berbagai negative self-talk tersebut, kita sebaiknya mencoba menyadari perbedaan ketika kita menuruti self-criticism tersebut dan ketika kita berhasil melepasnya.

Kamu bisa mulai dengan cara menulis diary atau jurnal. Biasakan untuk membacanya kembali setiap seminggu, 2 minggu dan juga 1 bulan sekali untuk melihat perbedaannya. Lalu, coba pikirkan kembali: “Mana yang lebih baik; melakukan sesuatu karena terjebak self-criticism atau melakukan sesuatu begitu ready dan telah benar-benar pulih?”

Dengan mencoba cara tersebut, kamu bisa lebih aware dan kemungkinan untuk jatuh ke dalam spiral negativitas menjadi lebih sedikit.

Ketiga cara yang saya bagikan di atas adalah cara-cara yang sering saya sampaikan secara berulang kepada klien saya. Jadi, jangan khawatir jika kamu merasa kesulitan ketika mempraktekannya. Rasanya baru 1-2x, besokannya sudah lupa.

Mengubah kebiasaan bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan tekad yang kuat untuk bisa mengubahnya. Cobalah mulai dari rutin bermeditasi dengan objek perasaan dan juga menulis diary. Siapa tau kebiasaan tersebut bisa membantumu agar ingat untuk mengembangkan self-compassion. Selamat mencoba dan semoga bisa segera merasakan manfaatnya.

Share the love...Share on Facebook
Facebook
Share on Google+
Google+
Tweet about this on Twitter
Twitter